Sebuah
tamparan menjadi sarapan dipagi ini, setelah menjambak rambutku tidak
memberinya kepuasan. Dia dulu tidak begini, tidak seberingas ini, dia dulu
mencintaiku, katanya. Dia dulu pria termanis, meski tak jarang dia memukulku,
tapi dulu tak seperti ini, tak sesakit ini.
Aku sudah bersamanya lama sekali,
sudah menginjak tahun kelima, saat usiaku masih terhitung 17 tahun dan dia 20
tahun. Aku menemukannya di antara serpihan kenangan masa laluku yang ingin ku
buang, dan dia menemukanku di antara kejenuhannya akan hidup. Kami saling
mencintai, sepertinya.
Aku
menerima semua tamparannya seperti dia menerimaku dalam kehidupannya. Aku tidak
bisa memberi apapun, jadi aku membiarkan dia memukulku. Awalnya tak sakit sama
sekali, karena aku tahu dia tidak bermaksud bergitu, dia hanya sedang lelah.
Dia butuh aku.
“Aku tak sengaja, maaf. Aku
mencintaimu” begitu katanya, dan
aku percaya. Aku percaya untuk kalimat terakhirnya.
Dia
tidak salah, aku yang salah. Aku yang tak mencintainya seperti dia mencintaiku,
aku yang salah tidak membalas pesan singkatnya secepat mungkin, tidak menjawab
teleponku, tidak melakukan sesuatu dengan baik, aku yang salah, bukan dia. Dia
selalu benar, seharusnya aku tidak mementingkan apapun, dia yang terpenting.
Pernah
aku melihatnya bergandengan tangan dengan wanita lain, dan aku menanyakannya.
Dia bilang hanya teman, dia bilang aku mulai tidak mempercainya, dia bilang aku
mulai berubah, dia bilang aku yang selingkuh, dia memukulku. Aku meminta maaf.
Aku meminta maaf untuk hal yang tidak ku lakukan. Lalu kami berbaikan, seperti
tidak terjadi apapun, seperti tak pernah keluar darah dari hidungku yang sekali
lagi tak sengaja ia pukul. Aku terima, karena aku mencintainya dan begitu juga
dia.
Namun pagi ini pukulannya sungguh
sakit, dadaku terasa sesak, sakit sekali. Tak terluka, namun sakit. Ia memukul
muka, namun dada yang terluka. Bukan karena pukulannya tapi karena ucapannya.
Dia bilang “aku sudah lelah, aku tidak
mencintaimu”, bagaimana bisa dia seperti itu? aku rasa dia sedang tidak
sadar. Dia mencintaiku, aku percaya. Jadi aku tidak membiarkannya pergi, ku
pegang erat kakinya saat ia melangkah keluar, tak ku pedulikan pukulan-pukulan
darinya. Dia tidak boleh pergi. Dia mencintaiku. Aku membutuhkannya.
Aku
tidak peduli badanku memar, hidungku berdarah atau bibirku robek, tapi jangan
hatiku. Dia tidak boleh menyakiti hatiku, dia mencintaiku. Dia menyerah untuk
melangkah, dia mencintaiku.
Mereka
bilang aku bodoh, mereka bilang aku aneh, mereka bilang aku sakit. Mereka
salah. Tanpa dia aku hilang arah, tanpa dia aku sakau, tanpa dia aku tak bisa
bernafas, aku mati. Dia nafas yang di beri Tuhan. Aku bertanya pada mereka “Apa
kita bisa hidup tanpa nafas?” tidak ada yang menjawab “bisa”, mereka terdiam,
mereka bilang aku gila.
Pukulannya
adalah cara ia menjelaskan betapa ia mencintaiku, aku percaya.
0 komentar:
Posting Komentar